Pendahuluan
Prof. Syaed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan tujuan pendidikan
adalah untuk meningkatkan intelektual, dan keseimbangan jiwa individu
peserta didik yang lebih baik, bukan saja sebagai warga negara, akan
tetapi menjadi manusia bagi dirinya sendiri .
Idealnya pendidikan memberikan andil besar dalam memberi solusi
terhadap krisis kemanusiaan yang kini melanda kehidupan. Mulai
pendidikan, kita ingin menghasilkan manusia yang jujur, bersemangat,
pekerja keras, tidak malas, berani, kreatif, cinta kebersihan, toleran
dan sebaginya.
Namun pada kenyataanya, akhir-akhir ini pendidikan terasa mandul
dalam mencetak manusia seutuhnya sebagaimana tujuan pendidikan pada
awalnya. Orientasi pendidikan hanya berkutat pada pencapaian kesuksesan
kehidupan bermasyarakat dan ekonomi saja. Di sisi lain, kerusakan moral
semakin meningkat. Mulai dari merebaknya pergaulan bebas dan perzinahan,
narkoba, tawuran antar pelajar sampai pada taraf pembunuhan. Berita
tentang kenakalan peserta didik setiap hari menjejali mata dan telinga
kita.
Dampak modernisasi dan paradigm dikotomis dalam dunia pendidikan
membuat manusia mengedepankan aspek kogniti dari pada aspek afektif dan
psikomotorik; pendidikan yang terlampau mengutamakan kecerdasan
intelektual, ketrampilan dan pancaindra, dan kurang memperhatikan
kecerdasan emosional, spiritual, sosial dan berbagai kecerdasan lainnya
menyebabkan out put dan out come pendidikan parsial.
Pendidikan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar
parasiswa menjadi semata-mata meraih nilai tinggi. Hal ini cenderung
mendorong peserta didik untuk mengejar nilai dengan tidak jujur, seperti
mencontek, menjiplak dan sebagainya. Sistem pendidikan seperti ini
membuat manusia berpikir secara parsial dan dikotomis.
Padahal, pada hakikatnya pendidikan dualisme ini tidak dikenal dalam
dunia pendidikan Islam. Hal ini terbukti dengan kehadiran para ulama’
dahulu sekaligus menjadi ilmuwan semisal Al-Kindi merupakan seorang
filsuf sekaligus agamawan. Ibn Sina, selain ahli dalam bidang
kedokteran, filsafat, psikologi, dan musik, beliau juga seorang ulama.
Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli matematika. Ibn Rusyd, seorang
faqih yang mampu menghasilkan karya magnum opus-nya Bidayat Al-Mujtahid,
yang mampu mensinergikan filsafat dan ilmu fiqh,Ibn Khaldun dikenal
sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum opus-nya
Al-Muqaddimah, yang sampai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik
dari dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.
Imam al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan
ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu
yang diketahuinya, mulai dari ilmu fiqh, kalam, falsafah, hingga
tasawuf.
Meski begitu dalam satu karya al-Ghazali tidak melulu membahas satu
bahasan keilmuan saja namun berbagai ilmu terkadang dibahas dalam satu
kitab. Semisal Ihya’ Ulumuddin. Dalam kitab tersebut membahas tentang
konsep ilmu, konsep Aqidah, fiqh dan lainnya. Hal ini mengindikasikan
bahwa al-Ghazali adalah seorang representatif ulama’ integral dengan
keilmuanya.
Pandangan terhadap fenomena pendidikan di atas memberikan inspirasi
pada penulis untuk menguraikan pentingnya konsep klasifikasi ilmu
al-Ghazali sebagai azaspendidikan Islam.
Biografi Imam al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali al-Thusi. Beliau lahir pada tahun 450 H/1058 M , di desa
Ghazlah Thabran, wilayah Khurasan Iran.
Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang cerdas,
brilian, tawadhu, bijaksana, sangat mencintai dan haus terhadap ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, al-Ghazali digelari sebagai Hujjatul
Islam, karena kepiawaiannya dan keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu
(multi disipliner).
Ayahnya seorang sufi yang saleh dengan profesi menjadi pemintal wol.
Al-Ghazali pertama belajar Alqur'an langsung dari ayahnya. Sepeninggal
ayahnya, al-Ghazali beserta saudaranya, Ahmad dititipkan pada teman
ayahnya, Ahmad bin Muhammad bin ar-Razikani, seorang sufi besar untuk
dibimbing dan dipelihara.
Kemudian, oleh kawan ayahnya itu, al-Ghazali dimasukkan ke sebuah
sekolah. Ditempat ini, al-Ghazali belajar ilmu fiqh kepada Yusuf
an-Nassaj yang juga seorang sufi. Setelah tamat, ia melakukan
pelajarannya ke Kota Jurjan
Beberapa tahun kemudian, ia pergi ke Naisabur dan belajar kepada Imam
al-Juwauini, yang dikenal ImamHaramain, seorang tokoh aliran
Asy'ariyyah.Al-Ghazali kemudian dipercaya untuk menggantikan al-Juwaeni
mengajar setiap kali gurunya berhalangan.Dari Naisabur, ia pindah ke
Muaskar dan berkenalan dengan Nidzhamul Mulk, Perdana Menteri Bani
Saljuk.
Nidzhamul Mulk mengangkat al-Ghazali sebagai pengajar pada tahun 1091
M. di Madrasah Nizhamiyyah, Baghdad yang didirikan oleh Nizhamul Mulk
sendiri. Di kota inilah al-Ghazali menjadi terkenal, halaqah
pengajiannya semakin ramai. Disamping mengajar, beliau juga menyusun
makalah-makalah yang isinya membantah pikiran-pikiran golongan batiniah,
golongan filosof dan lain-lain.
Pada tahun 1095 M, al-Ghazali meninggalkan kedudukan yang terhormat
di Baghdad, menuju Mekah. Hal ini al-Ghazali lakukan karena ia tertimpa
keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga ia terkena
penyakit yang tidak bisa diobati psiko theraphy. Kemudian untuk beberapa
waktu al-Ghazali menetap di Damaskus, mengisolir diri, merenung,
membaca, menulis dan berkontemplasi sebagai seorang sufi. Di puncak
menara mesjid Jami’ Damaskus, al-Ghazali memperoleh kesempurnaan
tashawwuf-nya. Pada tahu yang sama, beliau mengarang sebuah kitab yang
munomental hingga saat ini, kitab Ihya’ Ulumuddin .
Al-Ghazali tinggal di Damaskus kurang lebih dua tahun. Ditempat ini
pula al-Ghazali memiliki banyak kesempatan menulis karya ilmiah. Karena
desakan para penguasa, dalam hal ini Muhammad saudara Barkijaruq.
Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nizhamiyahdi Naisabur pada
tahun 1106 M. pekerjaan ini pun hanya berlangsung dua tahun. Setelah
itu, ia kembali ke Thus. Kemudian, beliau mendirikan sebuah sekolah
untuk para fuqaha dan sebuah biara untuk para mutashawwifun. Beliau
meninggal pada tahun 505 H/1111 M dalam usia 54 tahun di kota Thus.
Klasifikasi Ilmu al-Ghazali
Ilmu secaraumum menurut imam al-Ghazali terbagi menjadi menjadi dua
klasifikasi diantaranya: ilmu muamalahdan ilmu mukasyafah. Ilmu
muamalahdikelompokkan menjadi ilmu fardhlu ‘aindan ilmu fardhlu kifayah.
Sedangkan ilmu fardhu 'ain itu terdiri dari ilmu syar'iyahsaja.Ilmu
fardhlu kifayah itu ada yang syar’iah ada yang ilmu ghoyru syar'iyah.
Yang ilmu ghoyru syar’iyah bagi menjadi tiga ada yang mahmudah,
madzmumah dan ilmu mubah. Ilmu yang madzmumah bukan termasuk fardhlu
kifayah.
Sebenaranya al-Ghazali masih memperinci lebih detail lagi tentang
kalisifikasinya. Namun penulis menguraikan klasifikasi al-Ghazali dalam
bidang-bidang pokok. Sebab hal tersebut cukup sebagai dasar azas
pendidikan Islam. Pembagaian ilmu fardhlu 'ain dan fardhlu kifayah tidak
sama dengan dikotomi ilmu, sebab ia hanyalah pembagaian hirarki ilmu
pengetahuan berdasarkan kepada tingkat kebenarannya. Kalsifikasi
al-Ghazali ini tetap harus dilihat dalam sudut pandang yang integral,
dimana yang pertama merupakan azas dan rujukan bagi yang kedua.
Ilmu Muamalah
Ilmu Muamalah adalah ilmu yang daripadanya dituntut mengetahui serta
mengamalkannya. Ilmu Muamalah terbagi kepada ilmu lahir yakni ilmu
mengenai amalan anggota badan dan ilmu batin yakni ilmu mengenai
amalan-amalan hati. Ilmu yang berjalan atas anggota- anggota badan
menjadi adat dan ibadah. Sedangkan bagian batin yang berhubungan dengan
keadaan hati dan akhlak jiwa terbagi menjadi tercela dan terpuji. Dengan
kata lain ilmu Muamalah adalah ilmu mengenai keadaan hati yang
mengajarkan nilai-nilai mulia dan melarang tindakan yang melanggar
kesusilaan pribadi dan etika sosial syari’ah.
Ilmu muamalah terdiri dari ilmu fardhlu 'ain dan ilmu fardhlu
kifayah. Ilmu fardhlu 'ain sendiri hanya membahas ilmu syariah.
Sedangkan ilmu fardhlu kifayah memiliki 4 klasifikasi yaitu: ilmu
syari'yah, ilmu ghoyru syari'yah. Ilmu ghoyru syaii'yah terbagi menjadi
mahmudah, madzmumahdan ilmu mubah. Ilmu madzmumah dan ilmu mubah tidak
masuk dalam tidak masuk dalam pembahasan dalam fardhlu kifayah.
Ilmu fardhu kifayah ghoyru syari'yah ialah ilmu yang bukan syari'yah
namun sangat dibutuhkan terkait dengan kemaslahatan dunia. Dalam hal ini
imam al-Ghazali memberikan contoh: Kedokteran(Al-Thib), Matematika
(Hisab), ilmu teknik (shana’at), pertanian (al-falah), pelayaran
(al-Hiyakah), politik (al-Siyasah), bekam (al-Hijamah) dan menjahit
(al-Khiyath).
Al-Ghazali beralasan bahwa ilmu kedokteran penting bagi kemaslahatan
masyarakat sebab ilmu kedokteran dibutuhkan dalam kesehatan.Begitu pula
ilmu matematika sangat dibutukan dalam kehidupan sehari-hari semisal
dalam muamalah perdagangan, pembagian waris, washiat dal
lain-lainnya.Ilmu-ilmu di atas menurut al-Ghazali apabila tidak ada satu
dari kelompok suatu mayarakat yang mempelajari, maka semua masyarakat
yang ada mendapatkan dosa. Al-Ghazali mencontohkan apabila satu kelompok
masyarakat tidak ada yang mempelajari ilmu bekam, maka banyak orang
yang terkena penyakit, hal ini yang kemudian akan mempercepat kerusakan.
Para ulama’ dalam memposisikan ilmu fardhlu 'ain sesuai dengan
bidangnyamasing-masing. Misal: para mutakallimun berasumsi bahwa ilmu
kalam (ilmu tauhid) adalah ilmu fardhlu 'ain sebab, bagi mereka dengan
ilmu kalam seseorang dapat menemukan mengetahui ketauhidan Dzat dan
sifat Allah. Sementara itu para Fuqaha’ bahwa ilmu fiqh adalah ilmu
fardhlu 'ain sebab dengan fiqh seseorang dapat beribadah dan mengetahui
perkara halal dan haram serta mengetahui perkara yang haram dan yang
halal dalam bermuamalah.
Sedang ilmu fardhlu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh
sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhlu kifayah,
kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab
kefardhluan untuk menuntutnya.
Ilmu Mukasyafah
Dalam ilmu Mukasyafah, Imam al- Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini
adalah puncak dari semua ilmu karena berhubungan dengan hati, ruh, jiwa
dan pensucian jiwa. Ilmu diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati
seseorang dan mensucikan dari sifat-sifat tercela. Dengan membuka cahaya
itu, maka perkara dapat diselesaikan, didengar, dilihat dan dibaca yang
pada akhirnya dapat membuka hakikat ma’rifat dengan dzatullah
subhannahu wa ta’ala. Ilmu ini adalah puncak ilmu yang dimiliki para
siddiqun dan muqarrabun.
Merekabisa mengetahui hakekat dan makna kenabian, wahyu, serta
lafadznya malaikat, perbuatan setan kepada manusia, cara penampakan
malaikat kepada Nabi,cara penyampaian wahyu kepada Nabi,mengetahui seisi
langit dan bumi, mengetahui hati dan bercampurnya setan dengan
malaikat, mengetahui sorga dan neraka, adzab kubur, shirath, mizan, dan
hisab. Mengetahui sebuah makna pertemuan dengan Allah SWT dengan melihat
wajah-Nya Yang Maha Mulia, dsb. Inilah ilmu yang tidak tertulis di
dalam buku dan tidak dibicarakan kecuali ahlinya saja yang bisa
merasakannya. Di lakukan dengan cara berdzikir dan secara rahasia. Ilmu
ini adalah ilmu samar.
Pendidikan Islam dan Problematikanya
1. Definisi Pendidikan Islam
Istilah “pendidikan” dalam konteks Islam lebih banyak dengan
menggunakan istiah “al-tarbiyyah, al-ta’lim dan al-ta’dib”. Setiap
istilah ini memiliki makna yanng berbeda, karena perbedaan teks dan
konteks kalimatnya, walaupun dalam hal tertentu, istilah-istilah
tersebut mempunyai kesamaan.
Menurut Mushtofa al-ghaylani, tarbiyyah lebih bermakna penanaman
akhlak yang mulia pada jiwa yang sedang tumbuh dengan cara memberi
petunjuk nasihat, sehingga ia memiliki potensi-potensi dan kompentensi
jiwa yang mantap, yang membuahkan sifat-sifat bijak, baik cinta akan
kreasi dan berguna bagi tanah airnya.
Pengertian ta’lim menurut Abul Fatah Jalal sebagai proses pembentukan
pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman
amanah, sehingga terjadi takziyyah (penyucian) atau pembersihan diri
manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam
suatu kondisi yang memungkikan untuk menerima al-hikmah serta
mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahui.
Ta’dib sebagai istilah yang paling mewakili dari makna pendidikan
berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits dikemukakan oleh Syed Naquib Al
Attas. Al Attas memaknai pendidikan dari hadits.
Al-Attas meng-klaim bahwa konsep ta’dib adalah konsep paling
representatif mewakili pendidikan Islam, alasan al-Attas adalah
“struktur konsep ta’dib sudah mencakupunsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi
(ta’lim) dan pembinaan yang baik (tarbiyah)sehingga tidak perlu lagi
dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat
dalam tiga serangkai konsep tarbiyah, ta’lim, ta’dib.
Konsep tarbiyah pada saat ini telah mengalami reduksi dan akhirnya
memiliki kesamaan arti dengan konsep pendidikan Barat. Mengingat istilah
tarbiyah adalah suatu terjemahan yang jelas dari istilah “education”
menurut artian Barat. Meskipun para penganjur penggunaan istilah
tarbiyah terus membela istilah itu yang mereka katakan sebagai
dikembangkan dari al-Qur’an, pengembangannya didasarkan atas dugaan
belaka. Dengan kata lain, menurut al-Attas, hal inimengungkapkan ketidak
sadaran mereka atas struktur semantik sistem konseptual al-Qur’an.
2. Problem Pendidikan Islam
Tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam saat ini begitu
kompleks.Diantara salahsatunya ialah Pendidikan model materialistis.
Pendidikan demikian hanya menganggap pendidikan sebagai investasi
rekayasa sosial yang akan membentuk kembali tatanan sosial-ekonomi. Pada
akhirnya pendidikan dijadikan mobilisasi sosial-ekonomi individu atau
negara.
Dominasi sikap yang seperti ini di dalam dunia pendidikan telah
melahirkan patologi psiko-sosial, terutama di kalangan peserta didik dan
orang tua, menurut Pof SM. Al-Attas sebagai “penyakit diploma”, yaitu
usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan
pendidikan itu sendiri, malainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial.
Disamping perencanaan yang buruk dan cara penenganan yang salah,
keadaan seperti ini sebenernya bersumber dari kebingungan intelektual
dan hilangnya identitas kebudayaan yang disebabkan oleh pengaruh
sekularisasi yang berkesinambungan konsep negara ala Barat. Problem
terberatdalamdunia Islam itu ada dua. Pertama dikotomi Ilmu, yang
kemudian berdampak pada dualisme pendidikan.Yang terakhir ini adalah
problem yang kedua.
Dikotomi Ilmu
Dikotomiilmu dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang
kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya,
seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan
Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split
personality) .
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya
tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjangsehingga bisa
muncul sekarang ini. Dikotomi ilmu muncul bersamaan dengan pergolakan
peradaban Barat.
Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan dengan
masa renaissance di Barat. Berawal dari perlawanan masyarakat
intelektual Barat terhadap dominasi gereja terhadap sosio-relegius dan
sosio-intelektual di Eropa. Gereja kala itu melembagakan ajaran-ajaran
Kristen dan mejadikannya sebagai penentu kebenaran ilmiah. Akibatnya,
temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut
harus dibatalkan demi supremasi gereja. Copernicus danGalileo Galilei
yang dituduh murtad, bid‘ah dan atheis karena berpendapat bahwa bumi
mengelilingi matahari yang bertentangan dengan doktrin agama. Maka
keduannya terkena hokum Inquisisi dengan dibunuh.
Karena arus modernisasi yang tak terbendung, maka teolog Barat
menafsirkan bible dengan tafsiran baru. Oleh karena itu, maka
bergulirlah gagasan sekularisasi. Tafsiran baru ini menolak adanya alam
agamis yang lebih bagus dari pada alam ini. Kesimpulannya, gagasan
sekularisasi muncul karena ketidak sanggupan doktrin dan dogma gereja
Keristen untuk berhadapan dengan peradaban Barat yang terbentuk dari
bebrapa unsur. Intidari sekuresasi adalah proses pemisahan aktifitas
dunia dengan agama.
Satu dari tiga komponen proses sekulerisasi telahmenjadi azas
epistemology Barat yaitu pengosongan nilai-nilai rohani disenschantment
of nature. Sains bisa berkembang dan maju, jika dunia ini dikosongkan
dari tradisi atau. Jadi, dengan cara apa pun, semua makna-makna ruhani
keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Maka, ajaran-ajaran agama dan
tradisi harus disingkirkan. Jadi, alam tabi’i bukanlah suatu entitas
suci (divine entity).
Ketika mega komponen sekularisasi menjadi azas epistemologi Barat
modern yang melahirkan dualisme epistemologi. Struktur dualisme
epistemologi Barat modern telah melepaskan dirinya dari teologi, yang
melepaskan fisika dari metafisika.
Dualisme epistemologi Barat sekular telah menjadi embrio lahirnya
dikotomi ilmu.Untuk mendapatkan sebuah ilmu, maka pengetahuan itu harus
dipisah dari hal-hal metafisik, bersumber pada panca indra dan akal.
Sedangkan ilmu agama bukanlah ilmu sains karena obyek yang diteliti
bukan empiris, oleh karena itu harus ada dikotomi antara ilmu saint dan
ilmu agama.
Sejak saat itulah konsep ilmu yang dihasilkan oleh ilmuwan Barat
tidak lepas dari pengaruh sekularisme, utilitarianisme, dan
materialisme. Dampak dikotomi ilmu adalah munculnya ilmuan-ilmuan atheis
semisal Ludwig Feurbach dan Charles Darwin, dan dualisme pendidikan
yang kemudian menjelma dalam peribadi peserta didik yang mendua (split
personality).
Dualisme Pendidikan
Dulaisme pendidikan adalah konsekwensi logis dari dikotomi ilmu
Barat. Dalam kaitannya dengan pendidikan, dualisme merupakan konsep yang
berhubungan dengan wujudnya dua sistem pendidikan umum dan sistem
pendidikan agama yang berbeda dan keduanya tidak berintegrasi. Oleh itu,
perjalanan kedua sistem pendidikan ini selalu berlawanan antara satu
sama lain. Sistem pendidikan agama (tradisional) tumpuannya adalah
kepada ilmu-ilmu agama, sedangkan sistem pendidikan umum (modern) lebih
menumpukan kepada ilmu-ilmu yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama
(sekuler).
Secara operasional, persoalan dualisme pendidikan tersebut membawa
dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar
pijakan yang jelas. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaannya
pemerintah Indonesia menganut pola kolonialisme Belanda, juga merupakan
refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan nasionalisme, yang
sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan.
Di sini kemudian muncul dua lembaga pendidikan dalam menangani
pendidikan yang ada. Pertama lembaga pendidikan umum untuk pendidikan
ilmu umum yang berada di bawah naungan mentri pendidikan. Sedangakan
untuk pendidikan agama, masih berada dibawah lindungan mentri agama.
Secara intelektual, persoalan muncul dengan adanya dikotomisasi
kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama. Akibatnya, terjadi
pula dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau
dari sisi keahlian, adanya dikotomisasi itu seakan-akan telah
menciptakan label Islam dan label non-Islam terhadap kelulusan
pendidikannya. Selain itu karena masih sering lulusan madrasah mendapat
perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara
dengan sekolah umum. Ketika masuk ke perguruan tinggi atau ke dunia
kerja perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan
madrasah sebagai produk pendidikan Islam.
Kalsifikasi Ilmu al-Ghazali Sebagai Asas Pendidikan Islam
Dalam klasifikasi ilmu, al-Ghazali
menghiraki ilmu menjadi dua bagian. Ilmu fardhlu 'ain dan ilmu fardhlu
kifayah. Menurut al-Attas, apa yang dilakukan al-Ghazali ini adalah
mengutamakan muatan ilmu dari pada metode sendiri. Sebab menurut
al-Attas manusia memiliki sifat dualistis, bagi mereka ilmu pengetahuan
yang baik adalah dapat mengakomodir kebutuhan spiritual yang permanen
dan sekaligus kebutuan material dan emosional. Namun hal ini bukan
berarti al-Ghazali mengabaikan metode. Bagi al-Ghazali bahwa kemuliaan
sebuah ilmu ditentukan oleh buahnya dan keaslian prinsip-prinsipnya
(watsaqat al-dalil wa qawwatihi), dan yang pertama itu lebih penting
dari yang kedua. Sebagai contoh, walaupun tidak setepat matematika, ilmu
kedokteran lebih penting bagi seseorang. Begitu juga ilmu agama, (ilmu
al-din) adalah lebih mulia dari ilmu kedokteran.
Artinya kurikulum pendidikan Islam bila merujuk kepada Imam
al-Ghazali sesuai dengan konsep klasifikasinya, maka pembelajaran yang
diutamakan adalah dari segi konten martabat ilmu itu sendiri. Bila
begitu maka isi kurikulum pendidikan Islam dimulai dengan ilmu fardhlu
'ain kemudian ilmu fardhlu kifayah.
a. IlmuFardhuAin
Ilmu fardhlu 'ain adalah ilmu yang wajib dituntut oleh semua muslim,
yang berakal dan baligh. Bagi al-Attas ilmu fardhlu 'ain tidaklah ilmu
pengetahuan yang kaku dan tertutup sebagaimana pengertian yang populer
terjadi. Cakupan Fardhlu 'ain sangat luas sesuai dengan perkembangan dan
tanggung jawab spiritual, sosial, dan profesional seseorang. Hal ini
berarti bahwa mencari ilmu tingkat tinggi secara keagamaan adalah wajib
dan sarana yang lebih baik untuk memperolehnya merupakan syarat mutlak,
maka wajib pula menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu yang
lebih tinggi tersebut.
Sebagimana definisi fardhlu 'ain, bahwa yang wajib mempelajari ilmu
ini adalah bagi mereka yang berakal dan baligh, maka pendidikan ilmu
fardhlu 'ain sudah dipelajari dan diamalkan ketika peserta didik
mengijak masa tersebut. Menurut kholili hasib MA, pendidikan ilmu
fardhlu 'ain bisa dibebankan kepada anak setingkat kelas VI Madrasah.
Sebab dalam usia itu peserta didik sudah menginjak pada masa baligh
sehingga beban ilmu fardhlu 'ain sudah bisa ditaklifkankepada mereka.
Bagi al-Ghazali ilmu fardhlu 'ain ilmu yang berdasakan pada wahyu
meliputi: pertama: ilmu aqidah atau ilmu kalam : ilmu yang membahas
Tuhan, kemudian juga ilmu tentang para Nabi. Ilmu kalam juga membahas
tentang ilmu al-sam’iyat yaitu ilmu yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an
maupun as-Sunnah seperti malikat, kitab-kitab Allah, qadhla’ dan qadar
Allah, mu’jizat, hari akhir, pertanyaan kubur, ni’mat dan adzab kubur,
pahala dan siksa, hari kebangkitan, syafa’at Nabi saw, hari perhitungan,
penimbangan amal, telaga, jembatan, surga, neraka, ‘arsy, kursy, lauh,
sampai pada hidupnya para syuhada’ di dalam kubur.
Melihat betapa kompleks yang dibahas dalam ilmu kalam, serta
kebutuhannya begitu urgent bagi peserta didik muslim. Maka dalam
pengaplikasian terhadap kurikulum pendidikan Islam, porsi yang diberikan
kepada ilmu kalam hendaknya mendapatkan porsi yang lebih banyak.
Pembahasan ilmu kalam tidak sebatas peserta didik faham dan hapal akan
materi pelajaran namun peserta didik harus benar-benar mampu menghayati
dan memanfaatkan ilmu tersebut.
Strategial-Ghazali dalam penyampaian materi ilmu kalam bagi pemula
ialah disyaratkan seorang pendidik untuk mentransfer langsung materi
tersebut kepada peserta didik. Peserta didik tidak dibiarkan menela’ah
ilmu kalam dengan otodidak baik memalaui bacaan, penelitian atau
nash-nash dalil naqli. Sebab akal peserta didik belum mampu menyerap
makna yang dikehendaki dalam teks tersebut. Dikhawatirkan kemudian
menjadikan rancunya pemikiran peserta didik karena keterbatasan akal
yang dimiliki dalam memahami teks secara individual. Jika hal itu mampu
diaplikasikan dalam diri peserta didik, maka ilmu kalam akan menjadi
dasar cara pandang (worldview) terhadap setiap realitas yang ada dengan
cara pandang tauhidi.
Hirarki ilmu fardhlu 'ain yang kedua menurut al-Ghazali adalah ilmu
fiqh. Menurut al-Attas ilmu fiqh merupakan ilmu prinsip-prinsip dan
pengamalan Islam (Islam, Iman dan Ihsan) yang pengetahuan syariatnya
adalah aspek yang penting dalam pendidikan Islam.
Dalam hal ini al-Ghazali mengelompokkan ilmu fardhlu 'aindalam ilmu
fiqh diantaranya: Bersuci (Thaharah), Sholat, zakat, puasa (Shaum), dan
haji, selebihnya termasuk pembahasan ilmu fardhlu kifayah. Kecuali bagi
beberapa individu-individu yang kondisinya membutuhkan ilmu
fiqhtersebut. Seperti misalnya; seorang peserta didik pada saat yang
sama dihadapkan problem pemecahan hak waris, maka kondisi individu
inilah yang menjadikan ilmu faraidhl yang pada awalnya adalah ilmu
fardhlu kifayah mengalami dinamis fardhlu 'ain.
Dalam konteks aplikasi, merujuk kepada strategi pendidikan
al-Ghazali. Maka ilmu Fiqh meliputi Thaharah, sholat, zakat puasa dan
haji, hendaknya dimasukan kurikulum pendidikan dengan porsi lebih namun
sedikit dibawah setelah ilmu kalam. Peserta didik tidak saja hanya
diberikan penjelasan tentang tata cara, syarat-rukun ilmu fiqh. Namun
seorang pendidik harus bisa memberikan kepada peserta didik nilai-nilai
filosofis yang terkandung di dalam pembelajaran ilmu fiqh tersebut.
Sehingga menyadarkan peserta didik bahwa apa yang dipelajari bukan saja
berkaitan dengan hal-hal kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang
muslim yang sudah aqil-baligh, lebih dari itu peserta didik dapat
menginsafi nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam ilmu fiqh
tersebut.Contoh: ketika membahas tentang sholat dihubungkan
denganfadhilah sholat dengan mengungkap rahasia-rahasia keistimewaan
sholat berdasarkan al-Qur’an dan sunnah.
Ilmu fardhlu 'ain yang ketiga adalah al-Qur’an; membaca dan
tafsirannya. Sebab al-Qur’an adalah sumber otoritas dalam ajaran Islam.
Fungsi al-Qur’an bagi umat Islam adalah: sebagai tanda kerasulan
Muhammad Saw dan sebagai petunjuk (Al-Baqarah: 185) yang mencakup
orientasi pendidikan akidah dan akhlaq (Al-Isra’: 09), ibadah (QS.
Al-Dhariyat: 56).
Al-Ghazali menekanan dalam studi al-Qur’an yang utama adalah
bacaannya. Sebab dengan mempelajari bacaan adalah bagian dari menjaga
kelestarian al-Qur’an. Strategi al-Ghazali dalam mengaplikasikan studi
al-Qur’an ialah: pertama beliau selalu menunjukkan rahasia keutamaan
(fadhlilah) membaca al-Qur’an untuk memberikan informasi kepada peserta
didik bahwasanya dibalik kewajiban mempelajari al-Qur’an ada hikmah yang
agung.
Strategi kedua, agar peserta didik menjaga adab ketika mempelajari
al-Qur’an. Adapun tatacara bagi peserta didik dalam belajar dan
mengamalkan qira’at al-Qur’an ada dua cara: dhohirdan bathin. Tata cara
dhohir meliputi: kedaan qari’ (pembaca) suci dengan berwudhu’ dan bersih
baik pakaian maupun tempat, mulut sebagai aktifitas membaca juga harus
bersih dari makanan, mengawali dengan ta’awudz, membaca al-Qur’an dengan
tartil, bila faham arti disarankan membacan dengan khusyu’memahami arti
dan masih banyak lainya
Sedangkan Adab yang mengenai bathin itu, diperinci lagi menjadi arti
memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah, menghadirkan
hati dikala membaca sampai ketingkat memperluas, memperhalus perasaan
dan membersihkan jiwa. Dengan demikian, kandungan al-Qur’an yang dibaca
dengan perantaraan lidah, dapat bersemi dalam jiwa dan meresap kedalam
hati sanubarinya.
Ilmu fardhlu 'ain keempat bagi al-Ghazali adalah ilmu tashawwuf. Ilmu
ini mempelajari tentang metafisika untuk mengetahui derajat dan
sunnatullah, serta ilmu yang dengan ilmu tersebut seorang hamba dapat
membersihkan penyakit hati serta dengan ilmu tashawwuf seorang hamba
dapat membedakan ciri-ciri Allah dengan ciri-ciri setan.
Dalam mengaplikasikan ilmu tashawwauf pada kurikulum pendidikan Islam
maka terlebih dahulu peserta didik diberikan wawasan tentang ilmu jiwa
diantaranya tentang konsep diri (nafs), ruh, hati dan akal. Dalam
mentrasfer ilmu keempat fakultas (nafs, ruh, aql dan qalb) harus dalam
satu paket, dan memberikan penjelasan akan hubungan satu sama lainnya.
Kemudian penjelasan tentang empat fakultas tersebut melibatkan ilmu
fardhu kifayah biologi tentang anatomi.
Suatu strategi pendidikan yang luar bisa yang diajarkan oleh
al-Ghazali sebab dengan demikian maka telah terjadi integrasi ilmu
syariah dan aqliyah. Hal ini yang kemudian bisa membangun jiwa peserta
didik bahwasannya konsep ilmu dalam Islam adalah integral dan sinergis,
bukan dikotomi. Ini akan kami bahas pada pembahasan tersendiri.
Peserta didik harus memahami makna demi makna dari istilah, qolb,
Ruh, Nafs dan aql yang masing-masing fakultas ini memilki makna secara
dhohir dan bathin. Ketika memberikan pengertian dhohir, al-Ghazali
menjelaskannya dengan dengan detail dengan menggunakan ilmu anatomi dan
psikologi. Jadi ilmu anatomi yang merupakan bagian dari ilmu biologi dan
hukumnya fardhlu kifayah, pada saat ini ia mengalami dinamisasi menjadi
fardhlu 'ain, sebab dibutuhkan untuk menjelaskan ilmu tashawwuf yang
merupakan ilmu fardhlu 'ain.
Penjelasan al-Ghazali tentang konsep jiwa (nafs), ruh, hati (qalb)
dan aql. Dalam makna yang kedua, semua memiliki akar kesamaan dan satu
sama lain saling berhubungan. Hal ini beliau katakan bahwasannya semua
makna qalb, ruh, nafs dan aql adalah sama-sama bisikan Rabbani-Ruhani
yang datangnya dari Allah untuk diseru kepada kebenaran.
Setelah faham tentang pengertian qalb, ruh, nafs dan aql, beserta
potensi-potesinya, kemudian al-Ghazali membahas tentang melatih dan
melatih hati dan mebersihkannya dari penyakit (riyadhlah al-nafsi wa
tahdzi bihi). Arti Riyadhla al-Nafs adalah, Maksud dari mujâhadah dan
riyâdhatun nafs dalam mendidik akhlak, menurut al-Ghazali adalah
mendorong jiwa untuk melakukan amalan-amalan yang dituntut oleh akhlak
yang dituntut. Maknanya, cara untuk memperbaiki jiwa adalah dengan
menghilangkan berbagai kenistaan dan akhlak buruknya, serta meraih
keutamaan dan akhlak-akhlak yang baik . Dalam bahasan ini meliputi
fadhilah, hakikat dan cara memperoleh akhlak yang baik (husn al-khuluq).
Pendidikan tashawwuf ini harus benar-benar mendapat perhatian serius,
sebab pembentukan karakter seorangmurid bersumber dari pendidikan
tasawwuf. Hendaknya seorang guru dalam memberikan pelajaran ini
memperhatikan perindividu peserta didiknya agar diketahui sifat-sifat
negatif dominan peserta didik yang harus dibenahi. Al-Ghazali menuturkan
bahwa seorang guru dalam bidang tasawwuf seperti seorang dokter, dimana
ia harus mendiagnose setiap pasienya untuk mengetahui penyakit yang
diderita, agar obat yang diberikan sesuai dengan penyakit pasien
tersebut.
Pembersihan diri dari virus-virus hati adalah langkah utama dalam
pendidikan tasawwuf sebab dengan bersihnya diri adalah syarat
mendapatkan hakikat ilmu, sebab ilmu itu hidangan jamuan mulya dari
Allah yang bersumber dari wahyu yang mulya pula. Oleh karenanya orang
yang menerima ilmu adalah orang yang mulya dengan bersih jiwanya.
Setelah mengetahui penyakit jiwa yang bersarang di hati peserta
didik, maka dilakukan pengobatan dengan menggunakan metode sesuai
penyakitnya masing-masing. Pembersihan hati dari sifat buruk ini
dilakukan dengan dengan bertahap hal ini agar melatih jiwa untuk berubah
dari kebiasaan buruk menjadi baik.
Dalam pandangan al Ghazali, meniscayakan aspek teoritis dan praktis,
dan penyembuhan hanya terjadi melalui proses yang bersifat teoritis dan
praktis secara bersamaan. Teoritis berarti mempelajari dan menganalisa
akhlak yang buruk, dan praktis bermakna merubah akhlak buruk tersebut
dengan akhlak yang berlawanan.
b. IlmuFradhuKifayah
Adapun untuk mengaplikasikan ilmu fardhu kifayah dalam kurukulum
pendidikan Islam, ilmu fardhlu kifayah untuk ilmu syariah semisal ilmu
fiqh tetap satu paket dengan ilmu fiqh fardhlu 'ain, namun porsi waktu
bisa dikurangi, dan pembahasan tidak se-intens pembahasan ilmu fiqh yang
fardhl 'ain. Cukup bagi peserta didik hanya memahami ilmu fiqh
tersebut. Begitu pula ilmu fardhu kifayah syariah yang lainnya.
Sedangkan ilmu fardhlukifayah ghayru syar'iyah, semua dipelajari namun
dengan porsi dan durasi waktu di bawah ilmu fardhlu 'ain.
Namun bila ternyata ilmu-ilmu fardhlu kifayah itu sekiranya
dibutuhkan untuk mencapai ilmu fardhu ain, maka hukumilmu fardhu kifayah
yang dibutuhkan ilmu fardhlu 'ain tersebut berubah menjadi ilmu fardhlu
'ain pula. Contoh: dalam pelajaran ilmu al-Qur’an untuk bisa memabaca
al-Qur’an secara fashih maka diperlukan ilmu tajwid, karenanya ilmu
tajwid menjadi ilmu fardhlu 'ain.
Tidak itu saja, ilmu fardhlu kifayah-pun mengalami dinamisasi ilmu
fardhlu 'ain ketika eksistensinya diperlukan dalam kebutuhan sosial
masyarakat. Contoh: ketika salah satu warga masyarakat ada yang
meninggal dunia, namu tidak ada seorang-pun masyarakat yang memiliki
ilmu tentang janazah, kecuali peserta didik yang ada, maka kebutuhan
ilmu janazah yang dimilki peserta didik, pada awalnya ilmu fardhlu
klifayah akan terkonversi menjadi ilmu fardhlu 'ain. Hal itu berlaku
bagi semua ilmu fardhlukifayah, baik yang syar'iyah maupun ghayru
syar'iyah.
Klasifikasi Ilmu Sebagai Aaas Pendidikan Itegral
Ilmu fardhlu kifayah sebagai azas pendidikan Islam meliputi ilmu
syariah dan ilmu ghoyru syari'ah. Ilmu fardhlu kifayah syari'ah ini yang
dimaksud oleh al-Ghazali adalah ilmu syariah yang selain ilmu fardhlu
'ain. Misal: ilmu fiqh selain yang masuk dalam lima rukun Islam tadi:
janazah, muamalah, faraidhl, nikah, hudud, jizyah dan lain.
Adapun ilmu fardhlu kifayah yang ghoyru syar'iah meliputi ilmu
kedokteran, ilmu matematika, ilmu astronomi , ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pengetauan alam (biologi) dan ilmu sejarah. Pengetahuan ini tidak
diwajibkan kepada semua muslim kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Akan
tetapi harus ada salah satu yang mempelajarinya, bila tidak maka akan
mendapatkan dosa semua serta akan menanggung akibatnya.
Adapun untuk mengaplikasikannya dalam kurukulum pendidikan Islam,
ilmu fardhlu kifayah untuk ilmu fiqh tetap satu paket dengan ilmu fiqh
fardhlu 'ain, namun porsi waktu bisa dikurangi, dan pembahasan tidak
se-intens pembahasan ilmu fiqh yang fardhl'ain. Cukup bagi peserta didik
hanya memahami ilmu fiqh tersebut. Begitu pula ilmu fardhu kifayah
syariah yang lainnya dan ilmu fardhlukifayah ghayru syar'iyah, semua
dipelajari namun dengan porsi dan durasi waktu di bawah ilmu fardhlu
'ain.
Namun bila ternyata ilmu-ilmu fardhlu kifayah itu sekiranya
dibutuhkan untuk mencapai ilmu fardhu ain, atau tanpa ilmu fardhu
kifayah, ilmu fardhu ain tidak bisa dicapai, maka hukum ilmu-ilmu fardhu
kifayah yang dibutuhkan ilmu fardhlu 'ain tersebut berubah menjadi ilmu
fardhlu 'ain pula. Contoh: dalam pelajaran ilmu al-Qur’an untuk bisa
memabaca al-Qur’an secara fashih maka diperlukan ilmu tajwid, karenanya
ilmu tajwid menjadi ilmu fardhlu 'ain.
Tidak itu saja, ilmu fardhlu kifayah-pun mengalami dinamisasi ilmu
fardhlu 'ain ketika eksistensinya diperlukan dalam kebutuhan sosial
masyarakat. Contoh: ketika salah satu warga masyarakat ada yang
meninggal dunia, namu tidak ada seorang-pun masyarakat yang memiliki
ilmu tentang janazah, kecuali peserta didik yang ada, maka kebutuhan
ilmu janazah yang dimilki peserta didik, pada awalnya ilmu fardhlu
klifayah akan terkonversi menjadi ilmu fardhlu 'ain. Hal itu berlaku
bagi semua ilmu fardhlukifayah, baik yang syar'iyah maupun ghayru
syar'iyah.
Dalam kaitannya dengan pendidikan integral berbasik klasifikasi ilmu
al-Ghazali, yang dimaksud penulis ialah menjadikan konsep ilmu fardhu
ain sebagai landasan dari ilmu fardhu kifayah ghoyru syar’iyah seprti
ilmu biologi, matematika, ekonomi, kedokteran, piskologi, sosiologi dan
lai sebagainya. Juga yang dimaksud dalam penjelasan bab kali ini adalah
menggunakan ilmu ghoyru syar'iyah sebagai bagian dari metode penjelasan
tentang ilmui fardhlu 'ain.
Tentunya ilmu fardhlu kifayah ghoyru syar’iyah yang menjadi mata
pelajaran atau mata kuliah terlebih dahulu mengghilangkan pengaruh
nilai-nilai Barat yang penuh problem dari ilmu pengetahuan dan kemudian
memasukan nilai-nilai Islami di dalamnya. Hal ini perlu dilakukan karena
ilmu pengetahuan kontemporer atau menurut istilah al-Ghazali ilmu
fardhu kifayah ghoyru syar’iyah yang ada masih memiliki nilai-nilai
Barat yang humanistik, sekuleristik dan tentunya dikotomis. Nilai-nilai
yang terkandung dalam ilmu pengetahuan tersebut menurut al-Attas harus
dihilangkan sebab tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dan dapat
menimbulkan bahaya pada akidah muslimin.
Langkah awal dalam pengaplikasian kalsifikasi ilmu al-Ghazali sebagai
azas pendidikan integral ialah mendudukan niat mencari ilmu baik
fardhlu 'ain maupun fardhlu kifayah sebagai niatan semata-mata ibadah
kepada Allah. Hal ini yang telah dilakukan oleh ulama’-ulama’ salaf
al-Shalih ketika meraka melakukan kegiatan aktivitas belajar mengajar.
Betapa urgent sebuah niat, sampai-sampai Rasul Saw memerintahkan kepada
umatnya agar setiap menata niat beribadah dalam melakukan segala
kegiatan. Sabda Rasul Saw:
Artinya: Sesungguhnya Tiada lain yang dinamakan amal (shalih) itu adalah dengan berniat (amal sholih). (HR. Bukhari).
Dalam merealisasi klasifikasi sebag azas pendidikan integral yang
kedua ialah menajdikan ilmu fardhu ain sebagai landasan ilmu fardhu
kifayah. Ilmu biologi dalam pespektif pendidikan integral berbasik
fardhu ain dapat dilihat dari contoh tentang fase embrio. Fase-fase
embrio mengacu pada tahap-tahap yang berbeda dari perkembangan seorang
bayi. Ringkasnya, ciri-ciri tahap perkembangan bayi dalam rahim adalah
sebagaimana berikut:
(Tahap Pre-embrionik),Pada tahap pertama, zigot tumbuh membesar
melalui pembelahan sel, dan terbentuklah segumpalan sel yang kemudian
membenamkan diri pada dinding rahim. Seiring pertumbuhan zigot yang
semakin membesar, sel-sel penyusunnya pun mengatur diri mereka sendiri
guna membentuk tiga lapisan.
(Tahap Embrionik)Tahap kedua ini berlangsung selama lima setengah
minggu. Pada masa ini bayi disebut sebagai "embrio". Pada tahap ini,
organ dan sistem tubuh bayi mulai terbentuk dari lapisan- lapisan sel
tersebut.(Tahap fetus)Dimulai dari tahap ini dan seterusnya, bayi
disebut sebagai "fetus". Tahap ini dimulai sejak kehamilan bulan
kedelapan dan berakhir hingga masa kelahiran. Ciri khusus tahapan ini
adalah terlihatnya fetus menyerupai manusia, dengan wajah, kedua tangan
dan kakinya. Meskipun pada awalnya memiliki panjang 3 cm, kesemua
organnya telah nampak. Tahap ini berlangsung selama kurang lebih 30
minggu, dan perkembangan berlanjut hingga minggu kelahira.
Informasi mengenai perkembangan yang terjadi dalam rahim ibu, baru
didapatkan setelah serangkaian pengamatan dengan menggunakan peralatan
modern. Namun sebagaimana sejumlah fakta ilmiah lainnya,
informasi-informasi ini disampaikan dalam ayat-ayat Al Qur'an dengan
cara yang ajaib. Hal ini telah disampaikan oleh Allah dalam QS, Azzumar:
06 :
Artinya: "... Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi
kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah,
Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?".
Lafadz “dhulumatin tsaalits” dalam ayat ini memberikan informasi bagi
dunia kedokteran bahwa di dalam kandungan, janin memiliki tiga fase
yaitu: fase pre-embrionik, fase embrionik, dan fase fetus, sebagimana
penjelasan di atas.
Pengaplikasian pendidikan integral ini bias diterapkan kepada semua mata pelajaran pada ilmu fardhu kifayah.
Termasuk integrasi ilmu fardhu ain dengan ilmu fardhu kifayah ialah
menjadikan ilmu fardhu kifayah untuk membantu menguraikan atau
menjelaskan ilmu fardhu ain. Hal ini telah dicontohkan penulis
dipembahasan di atas tentang penjelasan nafs, ruh, qalb dan akal yang
melibatkan ilmu anatomi.